Allah, Mudahkan Aku Mendapatkan Teman yang Shalih
Oleh M. Lili
Nur Aulia
Allah, Mudahkan Aku Mendapatkan Teman yang Shalih |
(Hal-31) Ibrahim An Nakh’i pernah menyampaikan kisah yang didengarnya dari Alqamah, seorang perawi hadits yang wafat tahun 62 H. “Aku pernah pergi ke Syam dan memasuki sebuah Masjid dan mengucapkan do’a, ”Allahumma yassir lii jaliisan shaalihan” (Ya Allah mudahkanlah bagiku untuk mendapatkan teman yang shalih). Aku lalu duduk begitu saja di salah satu tempat di Masjid tersebut. Tak lama kemudian datang seorang tua yang duduk di sampingku. Aku bertanya kepada jamaah yang lain, “siapa Dia?” Mereka memberitahu bahwa orang yang baru datang itu adalah Abu Darda radhiallahu anhu.
Aku lalu mengatakan kepadanya, “Tadi aku berdoa kepada Allah Swt agar memudahkan bagiku mendapat teman duduk yang baik. Lalu ternyata Allah Swt memudahkanmu untuk bisa menjadi temanku.” “Dari mana Anda?” Alqamah menjawab,”Dari Kufah.” Abu Darda lalu bertanya (Hal-75) lagi, “Bukankah di antara kalian atau dari kalian, ada seorang penjaga rahasia yang tidak diketahui orang lain kecuali dirinya (maksud Abu Darda adalah Khuzaifah ra)?” Alqamah mengiyakannya. “Bukankah ada di antara kalian atau dari kalian orang yang dilindungi oleh Allah Swt dari syaitan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam (maksud Abu Darda adalah Ammar bin Yasir ra)? Alqamah mengiyakannya lagi.
Saudaraku,
Teman yang
shalih. Teman yang kata-katanya memberi manfaat. Teman yang ucapannya membawa
hikmah, memberi kesejukan, membuka kesadaran, menguatkan iman, mempertajam
pikiran, dan melembutkan hati. Teman yang shalih.
Doa dan
permohonan mendapatkan teman yang shalih, adalah kebiasaan orang-orang shalih
itu sendiri. Imam Turmudzi, dan An Nasai dari Harits bin Qubaisha mengatakan, “Aku
pernah datang ke Madinah dan berdoa, Allahumma yassir lii jaliisan shalihan.”
Aku laku duduk di samping Abu Hurairah radhiallahu’anhu.
Aku mengatakan,
“Tadi aku meminta kepada Allah agar diberi rezeki teman yang shalih.” Lalu Abu
Hurairah membacakan kepadaku hadits dari Rasulullah Saw yang diharapkan bisa
bermanfaat untukku. Abu Hurairah ra,”Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda,”Pertama
kali yang dihisab seorang hamba dari amal-amalnya adalah shalatnya. Jika shalatnya
benar maka ia berhasil dan sukses. Dan jika shalatnya rusak, maka ia merugi. Jika
ada yang kurang dilakukan dari kewajibannya, berkata Rabb azza wa jalla: lihatlah
apakah ada ibadah sunnah yang dilakukan hamba-Ku?” Lalu hal itu yang akan
menyempurnakan apa yang kurang dari kewajibannya. Kemudian dihisablah seluruh
amalnya dengan modal itu.”
Baca Juga: Sudah Membuka Lembar Keberapa?
Ini permisalan
yang terjadi di generasi mereka orang-orang shalih. Mendapatkan teman yang
shalih ada dalam doa mereka. Memperoleh orang yang bisa mengingatkan pada
akhirat, kepada Allah, meningkatkan keimanan, menjadi bagian dari obsesi mereka
ketika hadir di suatu tempat. Dan di zaman itu, mereka lebih mudah
mendapatkannya.
Mungkinkah
kita berdoa yang sama, “Allahumma yassir lii jaliisan shaalihan” sekarang?
Saudaraku,
Kesendirian
barangkali lebih baik daripada memiliki teman yang buruk. Alasannya adalah,
dalam kesendirian seseorang akan bicara pada dirinya sendiri. Lintasan pikirannya,
jika itu keburukan, akan sampai pada jiwanya sendiri, dan dalam batasan itu,
syariat masih memaafkannya. Tapi teman yang buruk akan (Hal-76) menyampaikan lintasan pikiran buruk
itu pada orang yang menemaninya dan akan mengajaknya melakukan keburukan itu
dengan sikap-sikapnya.
Maka Abu
Darda ra pernah mengatakan,”Teman yang Shalih itu lebih baik dari pada
kesendirian. Dan kesendirian itu lebih baik dari pada orang yang diam. Tapi orang
yang diam lebih baik daripada orang yang mengajak pada keburukan.”
Bahkan Ibnu
Hibban mengatakan,”orang yang berakal tidak akan mau menemani orang yang jahat.
Karena pertemanan dengan orang yang jahat itu adalah potongan dari api neraka. Memberi
rasa panas, tidak memunculkan ketenangan, dan cenderung melanggar apa yang
pernah dijanjikan.”
Saudaraku,
Persoalan teman,
bagi orang-orang shalih begitu penting. Kekeliruan dalam berteman, bisa mengakibatkan
perkara yang tidak sederhana. Karenanya mereka sangat berhati-hati memilih
teman, demi memelihara dirinya. Mereka sangat sensitif memilih komunitas mana
tempatnya berinteraksi, untuk menghindari diri dari keadaan yang menjebak pada
kesalahan.
Baca Juga: Seperti Engkau Malu Terhadap Orang Shalih
Saudaraku,
Mari
sama-sama berdoa, “Allahumma yassir li jaliisan shaalihan...”
Tak hanya persoalan memilih teman, tapi terlalu banyak berteman dan bergaul pun, bagi orang-orang shalih dianggap memiliki dampak yang kurang baik bagi jiwa. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,”Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam bergaul merupakan penyakit parah yang mendatangkan semua kejelekan.
Betapa banyak
pergaulan dan persahabatan itu menghilangkan nikmat, menabur benih permusuhan,
dan menanamkan rasa sakit di dalam hati yang mampu melenyapkan gunung yang
kokoh, sementara rasa sakit dalam hati tersebut tidak akan hilang. Sehingga berlebihan
dalam bergaul merupakan kerugian dunia dan akhirat. Hanya saja seorang hamba sepantasnya mengambil dari
pergaulan itu sebatas kadar kebutuhan.” (Bada’i’ul Fawaid/231).
Lebih mendalam
lagi simaklah komentar Ibnul Jauzy rahimahullah ini. “Hampir tidak ada yang menyukai banyak
berkumpul dengan manusia kecuali (hati ) yang kosong. Karena hati yang tersibukkan
dengan al-haq akan lari dari makhluk. Ketika hati kosong dari mengetahui
al-haq, dia pun tersibukkan dengan makhluk. Sehingga dia pun beramal
untuk dan karena mereka, dan dia binasa karena riya’ tanpa dia mengetahuinya.”
(shaidul Khatir/217).
Saudaraku,
Kita memerlukan waktu-waktu untuk menyendiri, menyepi, mendengarkan nafas dan bericara pada jiwa. Sayyid Quthb rahimahullah berpesan,”Jiwa yang diarahkan agar memiliki pengaruh dalam realitas kehidupan, lalu merubahnya pada orientasi yang lain, harus menjalani khalwat (penyendirian) atau uzlah (Pengisolasian) untuk beberapa saat, memutus kesibukan dunia dan hiruk-pikuk kehidupan, dan dari obsesi orang-orang “kecil” yang disibukkan oleh kehidupan. ***
Baca Juga: Mungkinkah Masjid Al Aqsha Runtuh
Majalah Tarbawi Edisi 212 Th. 11, Syawal 1430 H, 8 Oktober 2009 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar